Selasa, 08 Desember 2015

Perhatikan Anak-anak Dan Remaja Anda Bunda

sebenarnya cuma mau share tulisan dari temen yang nge-share via WA, bagus juga, mudah-mudahan ga di hapus sama mbah google.



Parenting

Materi pertama dari Psikolog lulusan UI, Drs. Adriano Rusfi, S.Psi atau yang sering di sapa Bang Aad. Beliau menyampaikan materi Melahirkan Generasi Aqil Baligh untuk Peradaban Indonesia yang Lebih Hijau dan Lebih Damai.

Konsultan SDM dan Pendidikan Independen yang pernah menjadi Pimpinan Umum Majalah Ummi ini membuka materi dengan pertanyaan: “Apa yang membuat anak-anak kita tertarik dengan ISIS atau NII? Mengapa seorang anak usia 13 tahun bisa mengendarai mobil balap dan menewaskan banyak orang? Mengapa tawuran? Mengapa pakai narkoba?”

Berdasarkan pengalaman beliau bekerja pada BNN di bagian prevensi, penangkapan ternyata hanya memiliki efek keberhasilan 2%. Bahkan rehabilitasi tingkat keberhasilannya hanya 6%. Artinya jika 100 orang di rehabilitasi, 94 orang akan kembali jadi pemakai.

Kalau dulu Bung Karno bilang, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Sekarang kita bilang, “Beri aku satu remaja, pusing awak dibuatnya.”

Pemuda memang identik dengan semangat perubahan. Ini merupakan salah satu penyebab mengapa pada masa Rasullullah, Islam lebih berkembang di Madinah daripada di Mekah. Saat itu di Madinah lebih banyak penduduk mudanya, dibandingkan dengan Mekah yang lebih banyak penduduk berusia lanjutnya.

Di masa awal kemerdekaan, kita bisa lihat bagaimana para pemuda seperti Bung Karno, HOS Cokroaminoto, dan lain-lain mampu memimpin perundingan antar negara pada usia mudanya. Mereka menyerukan sumpah pemuda untuk mempersatukan bangsa. Tercatat dalam sejarah bagaimana geniusnya mereka memilih bahasa melayu yang egaliter sebagai bahasa persatuan.

Lantas mengapa kualitas generasi muda kita menurun?


Konsep remaja

?

Istilah remaja itu adalah istilah yang dikenal pada akhir abad 19. Sebelumnya tidak ada istilah itu. Dalam sebuah penelitian ilmiah pada suku-suku terasing di Samoa, Papua, Baduy dalam, ciri-ciri keremajaan itu tidak tampak pada masyarakat disana. Dalam dunia kedokteran hanya ada istilah Pedagogi untuk anak dan Andragogi untuk Dewasa. Tidak ada istilah remaja.

Remaja dalam fenomena sosial sekarang lebih merupakan tragedi. Sebuah generasi banci sosial, tidak produktif, bahkan konsumtif dan destruktif, bukan anak tapi belum dewasa.

Kalau anak minta duit, kita bilangnya “Kamu sudah besar, minta duit melulu”

Kalau anak minta kawin, kita bilangnya “Kamu masih kecil, sudah minta kawin”

Konsep remaja itu mendapat pembenaran ilmiah, sosial bahkan agama. Kita jadi mengenal istilah remaja mesjid. Di sini lemahnya science yang hanya bicara soal fakta. Jika dalam populasi ada 10% banci, maka kita akan menyebutkan bahwa jenis kelamin itu ada 3. Demikian juga dengan remaja, yang sebenarnya tidak ada.

Aqil Baligh dalam Islam

Islam mengenal istilah Aqil Baligh. Baligh adalah kedewasaan fisik, sedangkan Aqil adalah kedewasaan mental. Masalah terjadi ketika Baligh dan Aqil ini tidak sepaket. Baligh berhubungan dengan nutrisi. Para bunda over sukses dengan memberi nutrisi pada anak, sehingga kini  masa baligh bisa terjadi pada usia sangat dini seperti 9 tahun.

Sedangkan Aqil berhubungan dengan kedewasaan mental, yang menurut teori psikologi makin lama makin lambat munculnya. Kedewasaan mental kini muncul di usia 22-24 tahun. Di sinilah masalah muncul. Kita pun mengenal istilah remaja. Sudah Baligh tapi belum Aqil. Terciptalah periode transisional dalam rentang yang panjang. Dalam Al Quran juga disebutkan mengenai perlunya kita berlindung dari masa-masa transisi seperti ini.

Dalam Islam, Aqil dan Baligh disiapkan dalam 1 paket. Tidak bisa dipisah-pisah. Paling lambat usia 15 tahun Aqil dan Baligh itu sudah bisa tercapai. Bagaimana caranya? Siapa yang bertanggung-jawab meng-aqilbaligh-kan anak?

Perlu dipahami bahwa penanggung jawab utama pendidikan adalah ayah. Bukan bunda! Bunda adalah pelaksana pendidikan. Dalam sejumlah referensi islami ditemukan tokoh parenting yang terkenal adalah laki-laki. Ada nama Lukmanul Hakim, seorang budak berkulit hitam yang petuah-petuahnya untuk anak-anaknya menjadi referensi parenting hingga kini. Namanya bahkan diabadikan dalam Al Quran.

Saat ini, sebagai korban revolusi industri, para ayah menjadi sekedar buruh. Jangan berlindung dibalik kualitas, padahal kuantitas kurang. Tidak ada kualitas tanpa kuantitas yang cukup.

Bersama para pakar parenting lain, Bang Aad terpikir juga untuk menciptakan model ayah bekerja cukup dengan 4 jam sehari, sehingga memiliki waktu lebih untuk mendidik anak-anaknya. Tapi jangan juga jadi ayah yang serakah. “Kalau 4 jam saya dapat 30 juta, berarti dalam 8 jam bisa dapat 60 juta nih.”

Terkadang para Ayah pulang bawa gaji, “Ini uang bulan ini, cukup-cukupin ya.” Lantas petantang petenteng seolah bisa menjajah seisi rumah karena merasa pencari nafkah.

Salah satu masalah berat dalam rumah tangga adalah tanggung jawab pendidikan anak, bukan urusan cari uang. Makanya pikir matang-matang kalau mau berpoligami.

Tugas pengajaran bisa didelegasikan ke sekolah, namun tugas pendidikan tetap di rumah. Sekolah tidak bisa dijadikan tulang punggung pendidikan anak. Sekolah berasal dari bahasa latin Schole yang artinya waktu luang. Jadi dari sejarahnya, sekolah adalah sekedar kegiatan mengisi waktu luang disela-sela kegiatan utama mereka bermain menghabiskan masa anak-anak mereka. Kini sekolah menjadi salah kaprah dengan berubah sebagai kegiatan utama tempat orang tua buang anak. Sehingga orang tua-nya bisa tenang mencari uang untuk bayar sekolah. Sebuah ironi.

?

Jadikan dalam satu paket, cintai kebenaran dan benci pada kebatilan. Jangan dipisah-pisah.

Kenapa sholat rajin, buang sampah sembarangan juga rajin?

Kenapa puasa senin-kamis, zina juga senin kamis?

Ini karena kita sekedar melatih pembiasaan. Biasa sholat, biasa puasa, tapi tidak biasa buang sampah pada tempatnya.

Kita lebih mengutamakan ibadah dan ahlak, sementara akidah tertinggal dibelakang. Ibadah dan ahlak ini yang menjadi jualan sekolah-sekolah sekarang karena itu yang mudah terlihat dan terukur. Padahal yang penting itu akidah atau pondasinya. Namanya juga pondasi, sering tidak kelihatan pada awalnya.

Sekolah akan mengajarkan sholat, tapi tidak bisa bertanggung jawab untuk kedewasaan anak. Terkadang terasa ada yang aneh ketika mendengar komentar, “Tolong doakan anak saya yang baru lulus dan sudah hafizd Quran, semoga mendapatkan pekerjaan.”

Pendidikan kedewasaan itu memerlukan ikatan batin. Beda di elus oleh ibu dengan dielus oleh guru. Saat dielus ibu, antibodi si anak bekerja.

Allah menitipkan hikmah pada orang tua untuk anak-anaknya. Dan itu tidak bisa didelegasikan pada siapapun. Dengan harga berapapun.


Saya jadi ingin menambahkan status facebook keren Bang Aad, 1 Desembar 2015 lalu,

Dulu, saat anak-anak temannya telah bisa membaca AlQur'an ketika berusia 3 tahun, dia hanya berkisah pada anaknya tentang indahnya AlQur'an

Dulu, saat anak-anak temannya telah terlatih shalat ketika berusia 5 tahun, dia hanya bercerita pada anaknya betapa indahnya perintah Allah

Dulu, saat anak-anak temannya telah hafal hadits Arba'in ketika berusia 7 tahun, dia hanya berkisah pada anaknya tentang indahnya Rasulullah

Kini, saat teman-temannya berkeluh-kesah tentang anak-anaknya, dia asyik terpesona menyaksikan indahnya Islam pada diri ananda


Libatkan anak dalam masalah

Pria kelahiran 1964 ini pernah punya status viral mengenai menikah. Kalau kita masukkan nama Adriano Rusfi di Google, akan nongol tulisan ini.

?


“Saya baru punya mobil usia 42 tahun. Rumah baru punya 2 tahun lalu, sebelumnya ngontrak”, kata lulusan psikologi UI kelahiran tahun 1964 ini.

Dulu teman-temannya bilang, “Lu makanya yang fokus dong cari duit.”

Kalau sekarang teman-teman kagum dan bilang, “Lu bakatnya banyak banget sih?” Bang Aad sekarang bisa membalas “Mungkin dulu Lu kecepetan fokus sih.”

Generasi dewasa hijau perlu digerakkan hatinya, jangan hanya otak. Akal sehat tidak identik dengan kecerdasan akademis. Perilaku hijau adalah perilaku perduli pada sesama.

Salah satu cara yang disampaikan Bang Aad adalah dengan tidak menyembunyikan masalah dari anak. Rem masa baligh anak dengan membantu orang tua menyelesaikan masalahnya.

Pada masa kecil Rasulullah ia adalah penggembala ternak. Beliau melatih empatinya dengan memelihara binatang. Saat ini kita bisa begitu alergi dengar kata ‘gembala’ atau bahkan ‘bunda’. Padahal sebenarnya arti gembala itu adalah memuliakan, memakmurkan.

Jadi kurang tepat juga ketika mengatakan, “Biar Ayah saja yang menderita, kamu belajar saja yang rajin.” Pria yang sempat mengurus Sistem kaderisasi Mesjid Salman dan Orientasi Mahasiswa Baru ITB ini menyebutkannya sebagai kalimat kurang ajar. Mengapa si ayah tidak mengijinkan anaknya mengikuti jalan suksesnya? Tidak ada sejarahnya orang sukses hanya dari gelimangan kemudahan.

“Supaya beban finansial saya cepat beres, saya fokus meng-aqilbaligh-kan anak”. Anak Bang Aad dari usia SMP sudah menjadi loper koran, membuka jasa servis tamiya, membantu scoring lembar psikotest. Sehingga anak jadi timbul empatinya.

Setiap permintaan akan dimulai dengan pertanyaan: “Abi ada duit nggak?”

Apapun yang anak minta harus 10% uang dia. Bang Aad cerita bagaimana anaknya ingin sepeda motor. “Bebas boleh pilih yang mana saja, asal 10% uang sendiri.” Anaknya jadi mikir juga. Yang 16 juta, harus ada 1,6 juta. Akhirnya si anak memilih yang 9 juta saja, karena merasa mampu menyediakan 10%-nya. Abi senang, anak senang.

Konglomerat Tionghoa itu sadis-sadis sama anaknya. Kalau anak mereka minta macam-macam, jawabnya “Sudah bagus Bapak kasih segitu.” Kita saja yang  Melayu ini suka memanjakan anak. Bang Aad sempat bercerita tentang tetangganya yang pengusaha kaya raya. Ketika hujan, ia memberikan payung buat anaknya supaya jadi ojek payung.

Ketika anak sudah memasuki usia aqil baligh, anak dikasih tahu. “Kamu ini sebenarnya sudah bisa Ayah suruh pindah, tapi sekarang masih boleh tinggal dirumah. Hanya statusnya numpang. Numpang makan, numpang tidur. Jadi tau diri lah sebagai penumpang. Baik-baik sama tuan rumah.”

Ajari anak cari uang, ajari anak berorganisasi. Libatkan anak dengan masalah. Anak mulai bisa diajarkan kemandirian saat usia diatas 7 tahun.

 “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Yakinlah setiap anak sudah terlahir muslim. Itu sudah fitrahnya. Didik anak dengan penuh optimis, tidak perlu rekayasa. Dan jangan lupa untuk meminta kepada Allah melengkapi kekurangan kita dalam mendidik anak-anak

Senin, 02 November 2015

Jalan-Jalan ke Kebun Raya Bogor



Mungkin Anda pernah atau sering mendengar tempat-tempat pariwisata yang ada di Indonesia. Sangat banyak!. Namun saya tidak ingin mengajak Anda untuk membahas semua itu, melainkan hanya satu saja. Kebun Raya Bogor.

Jika Anda pernah ke Kota Bogor bisa dipastikan Anda tahu dan bahkan sempat mengunjungi Kebun Raya Bogor (walopun cuma melihat dari luar pagar pembatas) karena Kebun Raya Bogor ini tidak benar-benar berlokasi di daerah perkebunan, melainkan di tengah-tengah Kota Bogor! Bisa terbayang kan bagi Anda yang belum pernah melihatnya atau bahkan baru kali ini membaca kata "Kebun Raya Bogor" atau artikel ini ?

Jika Anda baru pertama kali atau baru mau akan mengunjunginya pertama ini dalam hidup Anda, saran saya adalah Anda masuk lewat pintu utama. Karena apa ? Karena disana Anda bisa menggunakan mobil keliling Kebun Raya Bogor.
Jika Anda berniat mengelilingi semuanya dengan jalan kaki, itu mungkin saja tetapi akan membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Sehingga akan sangat melelahkan dan bisa saja ada sebagian tempat yang tidak terkunjungi karena Anda belum tau tempat dan kondisi disana. Dan bisa juga Anda tersesat di dalam (pengalaman bertemu sekeluarga tersesat mencari pintu keluar).
Maka lebih aman jika Anda menggunakan mobil keliling Kebun Raya Bogor. Sekitar 20 menitan berkeliling dengan mobil Kebun Raya Bogor sudah cukup membuat Anda bisa menjawab apa-apa saja yang ada di Kebun Raya Bogor, itu jika Anda memperhatikan guide yang menyampaikan informasi lewat pengeras suara yang sekaligus bertindak sebagai supir mobil KRB.

Harga tiket masuk KRB untuk Dewasa dipatok Rp 15.000 dan Anak-anak Rp 10.000. Sedangkan harga tiket untuk menaiki mobil KRB sama, yaitu Dewasa Rp 15.000 dan Anak-anak Rp 10.000.
Namun jika Anda mengunjungi pada hari Sabtu, Anda dapat membawa masuk mobil Anda ke Kebun Raya Bogor...

Bersambung

Minggu, 01 November 2015

Kebersamaan dengan Anak Itu Bukan Cuma Kualitas Tetapi juga Kuantitas ya Bunda, Ayah



Mungkin sepertinya terbalik ya ? Biasanya kita mendengar, kebersamaan dengan anak yang penting kualitas, bukan kuantitas. Biar sebentar yang penting waktu-waktu bersama anak itu berkualitas tinggi. Kira-kira begitu premis yang banyak terjadi. Apakah benar ?

Selalu ada "Kuota Minimal"

Pada kenyataannya selalu ada kuota-kuota minimal yang harus Anda penuhi untuk bersama anak Anda. Kualitas tidak dapat menggantikan kuantitas yang terlalu sedikit. Hanya “bertemu” anak 10 menit sehari bisa jadi tidak cukup untuk si kecil. Walaupun terkesan 10 menit itu sudah sangat maksimal di mana perhatian Anda penuh untuk mereka.

Anak butuh sosok orang tua secara lengkap, baik ayah atau pun ibu. Jika Anda berdua adalah orang tua yang bekerja, maka Anda berdua wajib mengagendakan waktu yang cukup dengan anak-anak. Untuk satu orang tua, setidaknya minimal 1 jam sehari bisa berinteraksi full dengan anak. Variasi kegiatan bisa menemani mengerjakan PR, menyiapkan makanan, bermain bersama, dll. Jika pun salah satu sedang sibuk, maka harus bergantian dengan pasangan agar anak tak “kosong” dari sosok orang tua.

Bagaimana Jika Realitanya Memang Tidak Bisa?

Lalu bagaimana jika realitanya pada weekdays Anda memang tak bisa “bertemu” anak? Pagi hari Anda harus berangkat sebelum mereka bangun dan saat pulang mereka sudah tidur. Ini kondisi darurat. Maka di sela-sela waktu kerja Anda wajib menyempatkan diri menghubungi mereka walau via telepon. Sebaiknya minimal 2 kali sehari. Lalu, pada weekend, ada satu hari yang memang Anda dedikasikan khusus untuk mereka.

Selasa, 16 Juni 2015

Malam



Malam...
Cuma mau bilang, malam ini lagi semangat tulis blog.
Ternyata memang ga mudah untuk tiap hari menulis (posting) blog secara konsisten, butuh perjuangan berat. Apalagi konsisten menjalankan kebenaran (uhui berat bahasanya) ?

Malam...
Agak dingin, syukuri saja masih bisa merasakan dingin (lagi ga pake baju)

Malam...
Bingung mau tulis apaan yah? karena biasanya tinggal copast :D :D

Ya sudah lah..
Sukses selalu buat Anda semua

Rabu, 03 Juni 2015

10 Kebiasaan Kurang Produktif

saya hanya menshare sebuah artikel bagus dari sesbuah media online, mudah-mudahan berguna bagi pembaca sekalian dan berkah.

Sebenarnya kebiasaan kurang produktif itu bukan saja merugikan perusahaan, tapi juga diri yang bersangkutan. Banyak karyawan yang karirnya begitu saja, merasa kekuangan waktu, keluarga jadi kurang harmonis karena tidak punya waktu, gara-gara tidak bisa membagi waktunya. Namun, kalau dilihat lebih jauh, persoalannya bukanlah tidak punya waktu, melainkan tidak bisa mengelola waktu, khususnya dengan melakukan hal-hal yang produktif.



10 Kebiasaan Kontraproduktif

Ayo, mari kita teliti satu demi satu, apa sajakah hal-hal yang seringkali menghambat produktivitas, khususnya bagi kita di kota-kota besar di Indonesia.

Pertama, datang tanpa rencana ke kantor. Pepatah mengatakan, “If you don’t have your schedule, other people will put their schedule into yours”. Jika kamu tidak punya jadwal, orang lainlah yang akan memasukkan jadwalnya padamu. Saya seringkali melihat orang yang datang ke kantor dan bengong mau ngapain, tiba-tiba temannya yang punya kerjaan mendatanginya dan mengajaknya meeting, meminta bantuan, dan lain-lain. Karena tidak punya rencana yang jelas, dia pun jadi mengerjakan pekerjaan orang lain (hei, bukan berarti kita enggak boleh bantu temen lho ya). Tetapi gara-gara itu, kerjaannya yang penting justru tidak terselesaikan. Ingatlah, tanpa rencana ke kantor itu sama artinya membiarkan fokus  terganggu oleh apapun yang akan terjadi di sekitar. Misal ada obrolan, kita pun jadi ikut nimbrung. Atau, malah duduk membaca koran. Untuk yang satu ini, saran saya sebenarnya sederhana. Setiap kali sebelum pulang, tempelkan post it notes yang berisi hal-hal yang hendak dikerjakan keesokan harinya di kantor.

Kedua, tidak rapi. Akibatnya, waktu untuk kerja habis hanya untuk mencari berbagai hal penunjang kerja (barang, file, dokumen, dan lain-lain). Ini biasanya akibat pribadi yang tidak rapi (clumsy). Pasti pernah mengalaminya bukan?

Ketiga, rutinitas pribadi yang justru memakan waktu banyak, tanpa disadari. Misalnya merokok, ngeteh atau minum kopi, merapikan diri, dan bersih-bersih, yang ternyata jadi berkepanjangan. Sebagai contoh, ada yang punya kebiasaan merokok sampai 30 menit lebih ataupun berdandan hingga hampir 30 menit. Waktunya diboroskan tanpa banyak kesempatan melakukan hal yang penting. Hati-hatilah dengan kebiasaan ataupun ritual pribadimu (yang lamaaaaa banget!). Lain kali, kalaupun mau melakukan ritual pribadi, tentukan dan batasilah waktumu. Itu akan membuat waktumu lebih efektif.

Keempat, godaan menjelajah internet tanpa sasaran yang jelas. Berhati-hatilah agar diri kita tidak menjadi cyber zombie. Pernah kan melihat tampang orang yang kelamaan menjelajah di internet? Wajahnya kayak zombie, menatap layar dengan wajah datar serta dengan tatapan kosong? Itulah cyber zombie. Andapun dapat menjadi cyber zombie dan waktu Anda pun menjadi sangat tidak produktif lantaran menjelajah internet, dari satu situs ke situs lain, jika dilakukan tanpa arah yang jelas. Untuk itu, fokuslah. Tatkala mau menjelajah internet, katakan “Hanya fokus untuk mencari data ini!”. Kalaupun Anda menemukan website yang memang bagus, catat saja. Jangan tergoda memenuhi keingintahuan saat itu juga. Luangkan di lain kesempatan untuk membuka. Percayalah, menjelajah internet tanpa arah yang jelas adalah salah satu cara membuang-buang waktu, kecuali kalau kamu memang kurang kerjaan, kebosanan, atau tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan. Namun, sungguh kurang bijak menjelajah internet tanpa arah, sementara banyak pekerjaan kantor yang masih menunggu untuk diselesaikan!

Kelima, ngobrol yang kebablasan. Memang, kita di Indonesia terkenal suka ngobrol. Sebenarnya sih ini kebiasaan bersosialisasi yang baik. khususnya bila dibandingkan dengan masyarakat yang sering tidak mau peduli sama sekali. Hanya sayangnya, waktu ngobrol ini sering kurang tepat. Kadangkala, jam kerja di kantor dipakai untuk curhat ataupun ngegosip yang tidak terbatasi waktunya. Akibatnya waktu jadi terbuang percuma.

Keenam, jika Anda termasuk terobsesi cek email dan gadget yang terlalu sering, hati-hatilah! Lain ceritanya kalau pekerjaan Anda terkait dengan sales yang mengandalkan panggilan orang ataupun memang perlu mengecek email atau pesan terus-menerus. Masalahnya, kadang banyak di antara panggilan ataupun message yang Anda terima justru bukanlah yang penting, yang harus segera direspon. Kalau sudah demikian, berarti bisa menunggu. Jangan terhinggapi penyakit gadget obsession ­yang bisa jadi mengecek BBM, WA atau SMS setiap 2 menit sekali! Kalau sudah terdistraksi (terganggu), biasanya untuk fokus lagi akan jadi susah. Bijaksanalah mengecek message ataupun gadget Anda.

Ketujuh, kebiasaaan update status media sosial yang terlalu rutin.  Ini bisa jadi semacam obsesi juga. Kadang, ada orang yang merasa dirinya begitu penting, seperti seorang ‘self celebrity’ yang perlu update status sehingga orang lain perlu tahu apa yang dia kerjakan terus-menerus. Oleh karena itu, untuk yang satu inipun Anda harus menjadwalkan waktu. Kalaupun merasa perlu update sosmed, belajarlah untuk kasih waktu yang rutin. Lagipula kalau kepingin, Anda bisa menggunakan model schedule (yang terjadwal dan bisa diprogramkan) untuk mengunggah.

Kedelapan adalah aktivitas remeh temeh yang ternyata menghabiskan waktu seperti menunggu orang, bikin teh-kopi, menunggu barang atau dokumen, dan lain-lain. Saya pernah melakukan suatu dokumentasi untuk melihat berapa banyak waktu remeh temeh yang saya habiskan. Ternyata, jika menit demi menit yang kecil untuk hal remeh temeh itu dijumlahkan, hasilnya lumayan banyak. Berhati-hatilah dengan hal-hal remeh temah yang terkadang bisa menghabiskan banyak dari waktumu.

Kesembilan, tidak bisa berkata ‘tidak’ pada hal-hal yang jelas menghabiskan waktu. Kadangkala karena takut membuat orang lain tersinggung, kecewa ataupun jengkel, Anda membiarkan diri Anda melakukan ataupun terlibat dalam aktivitas yang sebenarnya memboroskan waktu dengan seseorang. Misalnya obrolan berkepanjangan di telepon yang seharusnya Anda stop ataupun meeting yang bertele-tele. Seharusnya, kalau ingin menjadi lebih produktif, beranilah mengatakan tidak kepada berbagai aktivitas ataupun ajakkan yang menurut Anda memang tidak produktif.

Kesepuluh adalah aktivitas hobi yang dihabiskan di kantor. Kebiasaan main game, adalah salah satu contohnya. Bisa juga aktivitas seperti online shopping di saat-saat jam kantor ataupun download file yang tidak ada hubungannya dengan kerjaan kantor, yang ternyata menghabiskan waktu Anda.

Maka dari itu, mulai sekarang waspadailah kesepuluh penghancur produktivitas di atas yang bisa merampas banyak waktu produktifmu. Sekali lagi, banyak orang komplain karena merasa tidak punya waktu untuk keluarga, untuk anak, dan lain-lain. Jangan-jangan Anda bukannya tidak punya waktu tetapi tidak mampu mengelola waktu Anda!



Penulis:

Anthony Dio Martin

Direktur HR Excellency, ahli psikologi, speaker, penulis buku-buku best seller, host program Smart Emotion di radio SmartFM Jakarta.

JANGAN BILANG ANAKKU PINTAR

Good Article...

Tolong jangan bilang anakku “pintar”…. (Fixed Mindset Vs Growth Mindset)
Emangnya kenapa? Kata pujian “anak pintar” itu bukannya sebuah tanda penghargaan ya buat si anak? Plus dobel fungsi jadi topik obrolan basa-basi di ruang tunggu dokter, bangku di toko mainan, dan sambil mengawasi anak-anak main di taman? Triple plus di acara arisan keluarga, saat semua ponakan/cucu/kakak-adik lagi berkumpul bersama.
Lalu, ada apa dengan label “pintar” itu?

Bagaimana Pujian yang Sebaiknya Kepada Anak 

Beberapa bulan yang lalu, saya diberikan kesempatan untuk bantu menterjemahkan artikel pendidikan untuk sebuah program sekolah. Di antara sekian banyak artikel, satu yang benar-benar membuat saya berhenti, membaca berulang-ulang, dan berpikir kembali adalah artikel mengenai fixed vs. growth mindset. Kedua kubu tersebut merupakan bahasan penelitian berjangka yang dilakukan oleh Carol Dweck, yg dipublish dalam bukunya yang berjudul Mindset: The New Psychology of Success (2006).
Dweck meneliti efek jenis pujian yang diberikan ke anak-anak:
satu kelompok dipuji “kepintarannya” (“You must be smart at this.”)
dan kelompok yang lain dipuji atas usaha (effort) mereka (“You must have worked really hard.”) setelah setiap anak menyelesaikan serangkaian puzzle non-verbal secara individual.
Puzzle di ronde pertama memang dibuat sedemikian mudah sehingga setiap anak pasti bisa menyelesaikannya dengan baik. Setelah dipuji, anak-anak tersebut diberikan pilihan jenis puzzle buat ronde kedua: satu puzzle yang lebih sulit daripada puzzle di ronde pertama, namun mereka akan belajar banyak dari mencoba menyelesaikan puzzle tsb; dan pilihan puzzle lainnya adalah puzzle yang mudah, serupa dengan yang di ronde pertama.
Dari kelompok anak-anak yang dipuji atas usaha mereka, 90% anak-anak memilih rangkaian puzzle yang lebih sulit. Mereka yang dipuji atas kepintarannya sebagian besar memilih rangkaian puzzle yang mudah.
Lho, kenapa anak-anak yang dipuji “pintar” malah memilih puzzle yang mudah??
Menurut Dweck, sewaktu kita memuji anak karena kepintarannya, kita menyiratkan bahwa mereka harus selalu mempertahankan label “anak pintar” tsb, sehingga nggak perlu ambil risiko yang menyebabkan mereka akan berbuat salah alias terlihat “tidak pintar” (“look smart, don’t risk making mistakes.”)
Dalam ronde tes berikutnya, anak-anak itu tidak mempunyai pilihan: mereka semua harus menyelesaikan rangkaian puzzle yang diberikan memang dibuat sulit, 2 tahun di atas usia anak-anak itu. Seperti yang sudah diperkirakan, semua anak gagal menyelesaikannya. Namun, kelompok anak-anak yang dari awal dipuji atas usaha mereka menganggap mereka kurang fokus dan kurang keras upayanya untuk menyelesaikannya. Mereka menjadi sangat terlibat dan berusaha mencoba semua solusi yang dapat mereka pikirkan. Tak banyak dari mereka yang berkomentar bahwa “tes ini adalah yang paling saya sukai”.. kok gitu? Sedangkan kelompok yang dipuji atas kepintarannya menganggap kegagalan mereka sebagai bukti bahwa mereka sebenarnya memang tidak pintar. Tim peneliti mengamati bahwa anak-anak ini berkeringat dan tampak sangat terbebani selama mengerjakan tes.
Nah, setelah semua mengalami kegagalan, pada ronde tes terakhir, mereka diberikan tes yang dibuat semudah tes pada ronde pertama. Kelompok yang dipuji atas usaha mereka mengalami peningkatan skor hingga 30%. Sedangkan anak-anak yang diberitahu bahwa mereka “anak pintar” malah menurun skornya hingga 20%.
sudah curiga bahwa jenis pujian akan memberikan dampak, namun dia tidak menyangka sejauh ini efeknya. Menurutnya, “penekanan pada usaha memberikan anak-anak variabel yang bisa mereka kendalikan, mereka akan menilai bahwa mereka sendirilah yang pegang kendali atas kesuksesan mereka. Sedangkan penekanan pada kecerdasan alami justru mengambil kendali dari tangan anak dan menyebabkan cara berespons yang jelek terhadap sebuah kegagalan.”
Pada wawancara yang dilakukan setelahnya, Dweck menemukan bahwa mereka yang menganggap bahwa kecerdasan alami adalah kunci dari kesuksesan mulai mengecilkan pentingnya upaya yang diberikan. Penalaran mereka adalah “aku kan anak pintar, aku tidak perlu susah-susah berusaha”. Ketika mereka diminta untuk berusaha lebih keras, mereka malah menganggap hal tersebut sebagai bukti bahwa mereka nggak sepintar anggapan mereka. Efek jenis pujian ini terlihat pada penelitian yang dilakukan pada anak-anak pada kelas sosioekonomi yang berbeda-beda, baik pada laki-laki maupun perempuan, bahkan pada anak prasekolah juga menunjukkan adanya pengaruh.
Okay. Nafas dulu. Setidaknya, saya setelah baca hasil penelitiannya harus ambil nafas dan bercermin. Anak sulungku sudah sering dipuji “pintar”, alhamdulillah. Tapi memang pada beberapa kesempatan, dia enggan mencoba hal-hal baru (yang menurutnya susah) dan sempat mudah menyerah ketika mengalami hambatan, misalnya dalam upayanya membuat kreasi Lego sendiri (tanpa instruksi) atau saat dia latihan lagu piano yang lebih susah buat lomba. Kalau menggambar bebas, masih suka frustrasi saat “salah” dan minta ganti kertas atau malah ganti kegiatan yang lain. Oh my little boy, I’m so sorry. I didn’t know. Apalagi dia termasuk anak yang introvert dan lebih mudah cemas. Nah, jelas kan kenapa penelitian ini sangat menohok buat saya.
Meskipun saya dulu pernah baca artikel yang menyebutkan kenapa lebih baik memuji upaya daripada hasil, namun saya baru kali ini membaca penelitian yang terkait. Dan jadi sadar betul betapa besar efeknya jenis pujian yang kita berikan. Namun demikian, old habits die hard. Especially with the older generation. Gimana caranya saya ngasih tau ke mertua kalau mau muji cucunya tersayang, jangan bilang kalau dia “pinter” melainkan harus memuji upaya kerasnya? Padahal budaya kita sangat sarat dengan “label” pada anak-anak, dengan label “anak pintar” menjadi primadona segala label. Belum lagi kebiasaan membandingkan anak satu dengan anak lainnya, cucu satu dengan cucu lainnya. Oh boy, pe-er nya banyak banget ini.
Okay , balik lagi ke konsep growth vs. fixed mindset , jadi intinya anak-anak yang dipuji atas upaya mereka akan memiliki growth mindset, bahwa otak itu adalah sebuah otot, yang makin “dilatih” maka akan semakin kuat dan terampil. Dilatihnya ya dengan tantangan, masalah, dan kesalahan yang harus diperbaiki dan diambil hikmahnya. Sedangkan anak-anak dengan fixed mindset menanggap pintar/tidak pintar itu sudah dari sananya dan nggak bisa diubah. Jadi mereka cenderung menghindari hal-hal yang membuat mereka tidak terlihat pintar dan tidak menyukai tantangan, mementingkan hasil akhirnya.
Dweck memberikan beberapa perbedaan fixed vs. growth mindset dalam bukunya:
a. Fixed mindset (FM)mengkomunikasikan ke anak-anak kalau sifat dan kepribadian mereka adalah permanen, dan kita sedang menilainya. Growth mindset (GM) mengkomunikasikan ke anak-anak kalau mereka adalah seseorang yang sedang tumbuh dan berkembang, dan kita tertarik untuk melihat perkembangan mereka.
b. Nilai yg bagus akan diatribusikan pada “kamu emang anak yang pintar” pada FM. Sedangkan GM akan mengatakan “Nilai yg bagus! Kamu telah berusaha keras/menerapkan strategi yang tepat/berlatih dan belajar/tidak menyerah.”
c. Nilai yang jelek akan diartikan sebagai “kamu memang lemah pada bidang ini” dengan FM. GM akan mengatakan “saya suka upaya yang telah kamu lakukan, tapi yuk kita kerjasama lebih banyak lagi untuk mencari tahu bagian mana yang kamu belum pahami”. “Kita semua punya kecepatan belajar yang berbeda, mungkin kamu butuh waktu yang lebih lama untuk mengerti ini tapi kalau kamu terus berusaha seperti ini, aku yakin kamu akan bisa mengerti.” “Semua orang belajar dengan cara yang berbeda, ayo kita terus berusaha mencari cara yang lebih cocok untuk kamu.”
d. FM: “wah, kamu cepet banget menyelesaikannya, tanpa salah lagi!” GM: “Ooops, ternyata itu terlalu mudah buat kamu ya. Saya minta maaf sudah membuang waktumu, ayo cari sesuatu yang bisa memberikan pelajaran baru buat kamu.”
e. FM mementingkan kecerdasan atau bakat dari lahir. GM mementingkan proses belajar dan kegigihan berusaha (perseverance).
f. FM percaya kalau tes mengukur kemampuan. GM percaya kalau tes mengukur penguasaan materi dan mengindikasikan area untuk pertumbuhan.
g. Guru dengan FM menjadi defensif mengenai kesalahan yang dia lakukan. Guru dengan GM merenungkan kesalahannya secara terbuka dan mengajak bantuan dari anak-anak lagi supaya bisa menyelesaikan masalahnya.
h. Guru dengan FM memiliki semua jawaban. Guru dengan GM menunjukkan ke anak-anak bagaimana dia mencari jawaban-jawaban tersebut.
i. Guru dengan FM menurunkan standar supaya anak-anak bisa merasa pintar. Guru dengan GM mempertahankan standar yang tinggi dan membantu setiap siswa untuk mencapainya.
Hosh-hosh, mulai kelihatan kan bedanya? Kami sudah mulai berusaha mengubah cara kami memuji anak-anak, tapi menang butuh waktu dan upaya ekstra untuk mengubah kebiasaan yang sudah lama, apalagi dengan lingkungan teman-teman dan saudara dan orang-orang yang tidak dikenal yang SKSD. Plus, kosa kata “you worked hard… ” itu kalau diterjemahakan ke dalam Bahasa Indonesia itu masih terdengar tidak umum plus panjang, “kamu udah bekerja/berupaya keras ya untuk….”--- masih lebih praktis bilang “anak pinter”, hehehe. Yah, namanya juga sudah membudaya. Belum lagi ada ucapan bahwa kata-kata adalah doa. Akupun sepakat dengan itu. Jadi jangan salah sangka, bukannya nggak boleh memuji, tapi pujilah upaya mereka. Dan penelitian ini khusus berkenaan dengan persepsi terhadap kecerdasan ya, bukan label-label lain seperti sholeh/sholehah, rajin, empatik, penyayang, dsb. Jadi pentingnya perubahan mindset dari fixed menjadi growth supaya anak-anak (dan kita sebagai orang tua juga) nggak terpaku hanya pada hasil. Kalau menurut saya, terlalu terpakunya masyarakat kita pada hasil malah melahirkan upaya-upaya negatif untuk mencapai hasil yang “baik” di mata orang, terlepas caranya. Makanya ada bocoran soal UN, contekan ulangan, lalu stress berlebihan atas sebuah kegagalan. Kalau pada anak sulung saya, ya kelihatan pas dia ngambek nggak mau lanjut latihan sebuah lagu di piano karena “susah”, nggak mau nyoba gambar karena takut “jelek”, dan nggak mau nyoba bikin freestyle build dari Lego karena “susah”.
Buat saya, kalau ada yang mengatakan anak-anak “pintar”, maka saya akali dengan langsung menimpali secara halus plus senyum manis dengan komentar atas usahanya anak-anak. Misalnya, tante A, “Wah Little Bug udah pinter main pianonya…”, lalu saya menimpali dengan “Alhamdulillah, Little Bug selama ini rajin latihan dan nggak nyerah kalau belum bisa.” Atau “Little Bug dah pinter ya bacanya” “lalu saya bilang “alhamdulillah, Little Bug tiap hari berusaha baca buku-buku baru dan kalau ada kata-kata yang susah, dia akan berusaha membacanya”. Intinya, nggak pernah lupa untuk memuji usaha/prosesnya. Dan nggak lupa mendoktrin secara berulang tentang otak sebagai otot yang semakin kuat kalau dilatih dengan tantangan. Intinya, menekankan bahwa they are special just the way they are. Bahwa kami bangga karena dia berusaha mencoba meskipun menantang, dan gak menyerah meskipun gagal. Hal-hal seperti itu yang suka tertutup oleh pujian “anak pintar”. Terlebih karena kami homeschool, jadi kelihatan banget gregetnya kalau anak belum bisa maupun kelihatan ketika dia sengaja menghindari sesuatu yang tampak “susah” atau “baru” buat dia, belum lagi kalau ngambek ketika gagal atau hasilnya “nggak perfect”. Jadi ngeh juga, mungkin salah satu alasan kenapa anak-anak Jepang itu begitu rajin adalah karena sejak kecil, pujian setelah melakukan sesuatu umumnya adalah “yoku ganbatta ne” atau “kamu sudah banyak berusaha” dan “otsukaresamadeshita” (terima kasih atas kerja kerasnya), mau apapun hasilnya.
Kita bisa berusaha dan perlahan, insyaaAllah akan lebih positif kepribadian anak-anak kita. Daripada mengeluhkan, mendingan berusaha dan berdoa, semoga Allah bisa membentuk jiwa anak-anak dengan kelembutan-Nya sehingga kelak menjadi anak-anak sholeh/sholehah yang berani menghadapi tantangan demi menghasilkan kebaikan. Semoga artikel ini bisa memberikan sudut pandang yang berbeda buat kita semua.

Referensi:
1. Dweck, Carol. (2006). Mindset: The New Psychology of Success.
2. Bronson, Po. (2007). How Not To Talk to Your Kids: The Inverse Power of Praise. http://nymag.com/news/features/27840/#

Selasa, 24 Februari 2015

Renungan Untuk Kaum Wanita Muslimah

Renungan untuk kaum wanita muslimah.....
Kaum 'FEMINIS' bilang susah jd wanita, krn melihat peraturan dibwh ini saja:
1⃣. Wanita auratnya lebih susah dijaga (lebih banyak) dibanding lelaki.
2⃣. Wanita perlu meminta izin dr suaminya apabila mau keluar rumah tetapi tdk sebaliknya.
3⃣. Wanita saksinya (apabila menjadi saksi) kurang berbanding lelaki.
4⃣. Wanita menerima warisan lebih sedikit drpd lelaki.
5⃣. Wanita perlu menghadapi kesusahan mengandung dan melahirkan anak.
6⃣. Wanita wajib taat kpd suaminya, sementara suami tak perlu taat pd isterinya.
7⃣. Talak terletak di tangan suami dan bukan isteri.
8⃣. Wanita kurang dlm beribadat krn adanya masalah haid dan nifas yg tak Ada pd lelaki.
Itu sebabnya mereka tdk henti-hentinya berpromosi utk "MEMERDEKAKAN WANITA".
Pernahkah Kita lihat sebaliknya (kenyataannya) ?
1⃣. Benda yg Mahal harganya akan dijaga dan dibelai serta disimpan ditempat yg teraman dan terbaik. Sudah pasti intan permata tdk akan dibiar terserak bukan? Itulah bandingannya dgn seorang wanita.
2⃣.Wanita perlu taat kpd suami, ttp tahukah lelaki wajib taat kpd ibunya 3 kali lebih utama drpd kpd bapaknya?
3⃣. Wanita menerima warisan lebih sedikit daripada lelaki, tetapi tahukah harta itu menjadi milik pribadinya dan tdk perlu diserahkan kepada suaminya, sementara apbl lelaki menerima warisan, Ia perlu/wajib jg menggunakan hartanya utk isteri dan anak-anak.
4⃣. Wanita perlu bersusah payah mengandung dan melahirkan anak,tetapi tahukah bahwa setiap saat dia didoakan oleh segala makhluk, malaikat dan seluruh makhluk ALLAH di muka bumi ini, dan tahukah jika ia meninggal dunia karena melahirkan adalah syahid dan surga menantinya.
5⃣. Di akhirat kelak, seorang lelaki akan dipertanggung- jawabkan terhadap! 4 wanita:
▶ Isterinya,
▶ Ibunya,
▶ Anak perempuannya
▶ Saudara perempuannya.
Artinya, bagi seorang wanita tanggung jwb terhadapnya DITANGGUNG oleh 4 orang lelaki:
▶ suaminya,
▶ Ayahnya,
▶ Anak lelakinya
▶ Saudara lelakinya.
6⃣. Seorang wanita boleh memasuki pintu syurga melalui pintu surga yg mana saja yang disukainya, cukup dengan 4 syarat saja:
▶ Shalat 5 waktu
▶ Puasa di bln Ramadhan
▶ Taat kpd suaminya
▶ Menjaga kehormatannya.
7⃣. Seorang lelaki wajib berjihad fisabilillah, sementara bagi wanita jk taat akan suaminya, serta menunaikan tanggung-jawabnya kepada ALLAH, maka ia akan turut menerima pahala setara seperti pahala orang pergi berjihad fisabilillah tanpa perlu mengangkat senjata.
Masya ALLAH ! Demikian sayangnya ALLAH pada wanita!!
KELEMAHAN WANITA ITU ADALAH: "Wanita selalu lupa betapa berharga dirinya"
〰〰〰〰〰〰
Ustadz Mas'ud Hafidzhahullah